Mengunjungi Sulawesi Utara (Manado dan Tahuna)

Kali pertama dalam hidup saya mengunjungi Manado. Sesampai di Bandara Sam Ratulangi, disambut dengan cuaca yang lumayan panas, rasanya lebih panas dari Jakarta. Waktu perjalanan menuju hotel tempat saya menginap ada yang menarik perhatian. Kendaraan saya melewati sebuah angkot yang musiknya sangat keras. Saya tanyakan ke Pak Sopir, kenapa angkot harus memasang musik sekeras itu? Jawabannya, "Bu, di sini kalau angkot tidak ada musiknya penumpang kurang suka. Semakin keras semakin diminati". O.o, jawaban yang lucu :) Agak bingung juga sih, bagaimana jika penumpangnya mau turun, harus berteriak atau ketok-ketok? Hmm... harus dicoba angkotnya (dalam batnku).

Malam harinya walau terasa pegal-pegal seusai survey dan melaksanakan pekerjaan, saya paksakan diri untuk naik angkot, sekalian cari makan malam. Naiklah saya, ternyata angkot tidak hanya full music tetapi di malam hari juga dilengkapi oleh lampu warna-warni. Haha, serasa sedang di disco berjalan!! Jika kita naik angkot di Jakarta, tempat duduknya berhadapan. Di Manado, tempat duduk angkotnya menghadap ke depan semua. Terus terang rasanya lebih nyaman, lebih manusiawi karena penumpang yang akan naik angkot ditunggu sampai benar-benar duduk, demikian pula jika akan turun. Beda dengan Jakarta, jika kita turun baru kaki sebelah menyentuh aspal, angkotnya sudah bergerak jalan, tidak peduli yang turun orang tua atau ibu hamil.


Selama perjalanan saya mengobrol dengan sesama penumpang. Sampailah pada kesimpulan orang-orang Manado sangat menyukai pesta. Bahkan pada saat ada tetangga, kerabat, atau saudara yang meninggal, tetap saja ada pesta, istilah mereka adalah malam penghiburan. Pada saat itulah para tamu akan disuguhkan minuman, yang salah satunya adalah minuman "Cap Tikus", yaitu semacam tuak. Jika tuan rumahnya tidak menyiapkan akan dibawakan oleh keluarga atau tetangga. Artinya, dalam keadaan apapun, dimana ada orang Manado berkumpul, disitulah ada PESTA :).


Keesokan harinya saya menyeberang ke Tahuna yang berada di kepulauan Sangihe Talaud. Untung penerbangan tepat waktu dan cuaca cerah. Kalau tidak, keberangkatan bisa ditunda atau dibatalkan, yang artinya harus menunggu 2 hari lagi (hari itu Selasa, penerbangan hanya Selasa dan Kamis) atau naik kapal cepat yang memakan waktu sekitar 8 jam.

Setiba di Tahuna, Bandara Naha tepatnya, saya sudah menghubungi orang Tahuna. Jika tidak, rasanya saya akan balik lagi ke Manado karena di bandara tidak ada taksi atau kendaraan umum lainnya. Tak terbayangkan jika tidak ada yang menjemput, mau jalan kakipun tidak tahu akan kemana. Untuk menuju Kota Tahuna memakan waktu sekitar 1 jam dengan jalan yang berkelok-kelok. Sepanjang jalan saya melihat-lihat pemandangan yang masih asri, mayoritas tampak pohon kelapa. Tampak juga pohon pisang, banyak yang sudah berbuah tapi belum ada yang ambil. Kata teman saya, di Tahuna sangat mudah mendapatkan sumber makanan, mau sayur tinggal petik, mau ikan tinggal mancing, sehingga masyarakat asli Tahunanya sendiri cenderung agak malas. Biasanya yang berhasil dan sukses adalah warga pendatang.

Disini ada angkutan umum yang tidak kalah uniknya, yaitu bentor (becak motor, 'n' nya dari mana ya?). Naik bentor gak beda dengan naik angkot di Manado, musiknya gak kalah kerasnya. Kita pun bisa minta lagu, loh. Dan lagi-lagi saya tidak melepaskan kesempatan untuk mencoba bentor, dan hasilnya kuping jadi sedikit tuli, volume musik tidak kalah kerasnya dan speaker diletakkan pas dibelakang kepala penumpang, sesama penumpang jika ingin ngobrol harus teriak-teriak. Tetap hal itu menjadikan pengalaman tak terlupakan.

Masyarakat di Tahuna mayoritas beragama Islam dan Kristen, tetapi yang menakjubkan adalah mereka satu dengan yang lainnya saling menghormati dan rukun. Pada saat Lebaran, sepanjang Jalan Tidore, Tahuna berjejer meja-meja yang terdapat ketupat berikut sayurnya. Siapapun yang lewat sana, mau Islam atau non-Islam dipersilahkan untuk makan tanpa dipungut bayaran. Semua itu disiapkan oleh warga Islam, sudah merupakan budaya mereka dan sampai sekarang masih berlaku.

Saat berbincang dengan penduduk asli Tahuna, saya menanyakan bagaimana jika ada provokator yang ingin mengacau. Dengan santai dijawab, "jika ada provokator, belum melakukan apa-apa kami semua yang akan maju, tidak adalah provokator yang berani mengacau di sini".


Saya berharap hal ini akan berlaku sampai kapanpun, karena pada dasarnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang rukun dan saling menghormati tanpa memandang SARA.



Ditulis oleh Mira I.
30 Oktober 2012

2 komentar: