ILHAM HIMAWAN: MASIH BERTANYA DIMANA ITU KEPULAUAN SANGIHE?

Berlayar menuju Tahuna – Kepulauan Sangihe

Selamat Pagi Manado, dan kami berharap keselamatan dalam perjalanan menuju ke Tahuna.  Jam 7 tepat saya dan salah rekan saya @Andist menyusuri jalan kota menuju pelabuhan. Kapal Express Bahari sudah menunggu kami, jadwal keberangkatannya masih 3 jam kemudian. Hiruk pikuk warga di Pelabuhan cukup membuat saya merasa nyaman, terlebih jika saya membandingkan pelabuhan di Makassar ataupun di Flores yang para porternya kadang tidak terkendali dan sering memaksa untuk membawa barang penumpang. Atau mungkin karena setiap kapal memiliki gerbang pembatas sendiri di Pelabuhan?, dan pelabuhan baru sedang dalam pembangunan. Menurut info, kapal Express Bahari kategori kapal cepat dengan waktu tempuh maksimal 8 jam (wow segini dibilang cepat?), lain halnya jika kita berangkat kapal yang lebih besar dimalam hari dengan waktu tempuh mencapai 12 jam.
Saya menempati ruang VIP dengan harga tiket Rp. 225.000 dengan fasilitas tempat duduk yang empuk dan nyaman. Sangat mirip berada di kabin pesawat, iya benar! model tempat duduknya bekas pesawat. Saya duduk paling depan, tepat dihadapan layar TV LCD 42 inch dilengkapi sound systemyang apik dan satu lagi, AC standing floor. Suhu ruangan terlalu ekstrim untuk manusia, dinginnya seperti diruangan perangkat. Toiletnya bersih, dan sesekali saya bisa mengakses ruang kemudi untuk melihat pemandangan ke depan kapal disamping nahkoda.
Setelah 2 kali tidur siang, 1 kali makan siang, 2 kali disuguhi film namun yang satunya berbahasa Perancis yang terjemahan dan aksi pemainnya tidak nyambung jek! Alhasil, film thriller tentang Afganistan menjadi film komedi.
Sebelum mencapai Tahuna, kapal kami singgah dibeberapa dermaga disetiap pulau besar yang dilalui, Pulau Tagulandang, kemudian Pulau Siau dan rute ini berakhir di Tahuna yang merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Sangihe/Sangir Talaud. Namun karena pemekaran daerah, Pulau Siau dan Tagulandang masuk dalam area Kabupaten SITARO (Kepulauan Siau Tagulandang Biaro).
Masih bertanya dimana itu Kepulauan Sangihe? Paling utara Indonesia dan berbatasan antara Kepulauan SITARO dan Kepulauan Mindanao – Philipina. Apakah ini Pulau paling utara Indonesia? Belum, karena masih ada pulau kecil bernama Miangas disana. Pulau yang terbentuk dari karang yang muncul dipermukaan.
Pulau Sangihe juga memiliki banyak gunung api selain yang ada dibawah laut, Anda yang biasa menggunakan mode angkutan laut pasti mengenal KM. Awu. Yah nama kapal yang diambil dari nama gunung di Sangihe.
Oke dang! Torang so tiba di Tahuna jam 5 petang *automatic switch language mode ON*, kami dijemput dengan mobil pick-up dan diantar untuk menginap disalah satu rumah dinas yang sudah tidak berpenghuni setahun terakhir, namun masih bersih rapi. Sepanjang perjalanan saya duduk dibelakang pak sopir yang sedang mengemudi, mengendarai pick-up supaya baik jalannya *loh kok nyanyi?*…
Kota Tahuna terbilang cukup bersih, typical daerah pesisir, mayoritas mata pencarian masyarakat adalah nelayan. Saya awalnya kaget, apakah saya tidak salah berlabuh disebuah pulau yang mengibarkan banyak bendera Negara Uni Eropa dimana-mana? Tidak mungkin saya hanya berlayar 8 jam namun telah telah tiba di Benua Eropa. Ternyata euphoria EUFA terasa disini, kibaran bendera besar yang warnanya masih terang mengingatkan saya apakah 17an nanti Bendara Negara kita juga berkibar semegah ini? Apakah mereka rela menyogoh kocek lebih untuk membeli bendera negera sendiri yang mungkin sudah usang, agak robek, yang jadi koleksi beberapa tahun lalu?. Saya yakin nasionalisme tidak selalu berbentuk kibaran bendera, tapi masih tertanam dilubuk hati mereka.
Tidak jauh jarak dari pelabuhan dengan rumah dinas. Menempati tempat yang baru biasanya yang pertama saya lihat adalah kamar mandi, apakah cukup baik auranya untuk membuat saya nyaman berlama-lama disana? *saya tertawa sejenak* melihat wc jongkok yang dimodifikasi. Ada penambahan tinggi permukaan tempat kaki berpijak, kebayang dong, berapa lama waktu tempuh ‘buangan’ untuk tiba dilubangnya. Selama masih ‘atos’ sih gak masalah, nah kalau lagi bermasalah?…tercecer choy!
Malam pun tiba, sama seperti beberapa kota kecil di Flores, semakin malam semakin anda sulit menemukan warung makan. Toko-toko akan cepat tutup. Untuk mencari makanan yang ‘aman’, kami diantara ke warung Malioboro di Kec. Sawang Bendar.
Nah, seperti yang saya katakan sebelumnya, ada banyak kesamaan dengan Flores disini. Hampir tidak ada perbedaan kultur antara Sangihe dan Flores. Jumlah tumpukan nasi dipiringnya juga sama banyaknya. Oh iya sebelum berangkat, teman saya @Andist membeli sarapan kue tradisional namanya cucur, saya jadi semakin tidak tahu asal muasal kue ini, ada di Manado, Makassar dan juga Flores.
Meninggalkan warung, saya banyak mendengarkan cerita rekan saya tentang perilaku masyarakat di Tahuna. Dalam berkendara, mereka terbilang tertib. Penumpang diwajibkan berhelm. Tapi kecelakaan lalu lintas masih sering terjadi, tidak lain penyebabnya sama di Flores yaitu miras. Kalau di Flores kita mengenal miras lokal dengan nama Sofi dan Moke bening hasil penyulingan dan konon katanya mudah terbakar jika disulut api, di Sangihe miras lokalnya bernama Saguer dalam bahasa Sangir atau bahasa umum disebut Sipa dengan kadarnya setara tuak biasa.

0 komentar:

Posting Komentar